Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat mengatakan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja yang menyatakan beleid tersebut inkonstitusional bersyarat, puluhan ribu buruh pun melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembatalan penetapan upah minimum.
Mirah mengatakan aksi unjuk rasa akan digelar di Balai Kota DKI Jakarta pada hari ini Senin 29 November 2021. Aksi juga akan dilakukan di Gedung Sate, kantor Gubernur Jawa Barat, pada Selasa, 30 November 2021.
“Kami akan meminta Gubernur Anies Baswedan dan Gubernur Ridwan Kamil, untuk taat pada Putusan MK dengan cara membatalkan penetapan upah minimum di Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, yang telah diterbitkan sebelum adanya Putusan MK,” kata Mirah dalam keterangan tertulis, Senin, 29 November 2021.
Mirah menegaskan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan agar pemerintah menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Artinya, menurut dia, penetapan upah minimum tahun 2022 yang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, harus dibatalkan. Pasalnya, ia menilai PP Nomor 36/2021 adalah peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, serta bersifat strategis dan berdampak luas.
Mirah menilai beleid itu telah berdampak langsung pada hilangnya jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah, dan jaminan sosial, yang sebelum adanya UU Cipta Kerja, telah diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Upah minimum termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum. Adapun tuntutan Aspek Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) adalah agar pemerintah menaikkan upah minimum tahun 2022, di kisaran 7 persen sampai 10 persen.
Aspek juga mendesak pemerintah untuk tidak memaksakan kehendak, khususnya terkait dengan adanya berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. Karena itu, Aspek juga menuntut pemerintah membatalkan empat Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Beleid yang dimaksud antara lain PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA); PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK); PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan’,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI dan dipantau dari Jakarta, Kamis.
Dalam pembacaan amar putusan, Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.
Lebih lanjut, MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
“Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan (UU Cipta Kerja, red.), undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali,” ucap Anwar Usman.
Selain itu, MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
CAESAR AKBAR | ANTARA